Rabu, 29 Mei 2019

Usianya 200 Tahun, 17 Anaknya Sudah Meninggal, Begini Cara Kakek Ini Bertahan Hidup Hingga Sekarang

Usianya 200 Tahun, 17 Anaknya Sudah Meninggal, Begini Cara Kakek Ini Bertahan Hidup Hingga Sekarang

terdapat sebagian orang indonesia yang umurnya menggapai lebih dari 100 tahun. satu di antara lain, mbah gotho, laki – laki asal sragen, jateng.
saat sebelum tutup umur pada 30 april 2017 kemudian, dia pernah memperingati ultah – nya yang ke – 146 tahun. satu lagi, kakek yang dikabarkan umurnya tertua dikala ini merupakan mbah arjo suwito.

walaupun tidak terdapat fakta tertulis ataupun kesaksian teman , tetapi kakek asal dusun sukomulyo, desa gadungan, kecamatan gandusari, kabupaten blitar ini mengklaim umurnya sudah 200 tahun lebih.

tetapi, informasi di balai desanya, dia tercatat kelahiran 1825. dikala ini, dia hidup berbarengan anaknya, ginem (53). katanya, ginem itu anaknya yang ke – 18, dari istrinya yang keenam.

semenjak tahun 1990 – an, mereka tinggal di lereng gunung kelud ataupun tepatnya, di gunung gedang. dari puncak gunung kelud itu, tempat mbah arjo berjarak dekat 10 km.

buat mengarah ke posisi itu, tidak gampang karna jalannya cukup susah, dengan lewat perkebunan tumbuhan karet, yang masuk daerah perhutani (bkph wlingi).

makanya, itu wajib ditempuh dengan sepeda motor yang sudah dimodifikasi serupa trail.

bila ingin ke tempat itu, rutenya wajib lewat kecamatan talun, setelah itu ke arah utara dekat 12 km yang sudah masuk kecamatan gandusari.

dari kecamatan gandusari itu, wajib ditempuh memakai sepeda motor trail, dan juga lewat 2 desa, ialah, desa gandusari dan juga gandungan.

sehabis lewat medan yang susah sejauh 7 kilometer, itu baru hingga ke tempat mbah arjo.

tempat mbah arjo itu lebih diketahui dengan candi wringin branjang karna terdapat candi yang diperkirakan aset kerajaan majapahit.

terlebih lagi, candi yang bangunannya mirip candi penataran itu disebut – disebut, yang menciptakan kesatu kali merupakan mbah arjo tahun 1990.

dikala itu, mbah arjo baru sebulan menghuni posisi itu, dan juga menciptakan bangunan, yang terpendam tanah pegunungan.

ditemui minggu (14/1) jam 09. 00 waktu indonesia barat (WIB) kemudian, dia lagi duduk di dalam rumahnya. rumah mbah arjo, amat tidak layak karna lebih mirip gubuk, dengan dimensi 3 x 4 m.

dindingnya berasal dari bambu (gedek) , tetapi sebagian belum dianyam dan juga cukup dipaku. atapnya dibuat dari alang – alang bercampur jerami.

“sejak aku tinggal di mari (1990 – an) , ya ini rumah aku. ini aku tempati dengan anak wanita aku, ” tutur mbah arjo, yang bicaranya masih bisa dengan mudah tetapi mengaku sudah setahun agak sulit jalur.

semenjak tidak dapat jalur itu, dia tidak dapat beraktifitas whatever. terlebih lagi, mulai berak, ataupun berkemih, itu dia jalani di atas tempat tidurnya, yang dibuat dari bambu, dengan tikar pandan, yang kondisinya sudah kumal.

walaupun hidup di tengah hutan, tetapi dia mengaku tidak kesusahan air bersih ataupun kebutuhan makan yang lain. karena, di dekat tempat tinggalnya, terdapat kali, yang airnya cukup jernih.

buat makanannya, dia mengandalkan sayur yang ditanam seorang diri, serupa daun singkong, dan juga bayam. sedangkan, berasnya, dia mengaku menemukan jatah beras raskin.

“kalau tidak mampu jatah beras, ya aku sudah biasa cukup minum air putih aja, ” paparnya.

ditanya umurnya berapa? mbah arjo mengaku sudah 200 tahun. soal tahun kelahirannya, dia mengaku kurang ingat dan juga cuma ingat harinya.

ialah selasa kliwon (pada subuh). dia kelahiran desa gadungan, yang berjarak dekat 8 km dari tempatnya saat ini ini.

“kalau dikait – kaitkan dengan kejadian jaman dahulu soal masa kecil aku, ya aku sudah kurang ingat. tetapi, kala jaman penjajah jepang, aku sudah beristri yang keenam kali. karena, kelima istri aku itu wafat dunia, sampai – sampai aku menikah lagi, dan juga mampu istri orang ponorogo, namanya suminem. dia wafat dunia kala indonesia merdeka, ” paparnya.

sebanyak 6 kali menikah itu, dia mengaku dikaruniai 18 anak. tetapi, 17 anaknya sudah wafat dunia, dan juga tinggal satu, ginem, yang hidup bersamanya.

dia menuturkan, dari istri pertamanya, sumini, masyarakat desa pehpulo, kecamatan wates (kab blitar) , dia memiliki anak satu, tetapi sudah lama wafat.

istri keduanya, tuminem, asal desa semen, kecamatan gandusari, memiliki anak 4, pula sudah wafat seluruh.

dengan istri ketiga, paijem, asal desa ngambak, gandusari, memiliki anak 4, pula sudah wafat. istri keempat, tumila, asal pacitan, memiliki anak 4, pula sudah wafat seluruh.

buat istrinya yang kelima, tukinem, asal ponorogo, tidak dikaruniai anak, baru dari istrinya yang ke 6, suminem, asal ponorogo, dikaruniai 4 anak.

tetapi, ketiganya sudah wafat dan juga tinggal ginem, yang saat ini berumur 53 tahun. cuma aja, dia dikala ini hadapi keterbelakangan mental.

widodo, kades gadungan, menuturkan, saat sebelum tinggal di komplek candi wringi branjang, mbah arjo itu masyarakat desanya.

tetapi, semenjak menciptakan candi itu, dia mau tinggal di sana, dengan mendirikan gubuk.

“kalau informasi di kependudukan desa kami, mbah arjo itu tercatat kelahiran desa gadungan, pada 19 januari 1825. bahwa informasi pendukungnya, ya tidak terdapat.

hanya, kakek aku, mbah mawiro pradio, yang kelahiran 1918 aja, memangil mbah arjo itu kakek.

berarti dapat dibayangkan, bahwa mbah arjo sudah amat tua. mbah aku itu baru wafat tahun 1990 kemudian, ” ungkap widodo yang umurnya baru 48 ini.

entah apa kelebihannya, tetapi semenjak mbah arjo menciptakan candi itu, dan juga tinggal di dekat candi itu, kira – kira terdapat tamu yang tiba tiap hari – hari tertentu.

lebih – lebih, tiap malam 1 suro, bagi widono, mbah arjo senantiasa kebanjiran tamu. tidak cuma dari blitar, tetapi dari bermacam wilayah, serupa jogjakarta, ponorogo, pacitan, terlebih lagi jakarta.

mereka melaksanakan ritual di gubuknya mbah arjo, serupa melekan.

“biasanya para tamunya lapor ke desa, terlebih lagi fitur kami acapkali yang mengantar tamu – tamunya mbah arjo. bahwa terdapat melek – an 1 suro, malah kami yang meminjami genset karna tempat tinggalnya belum terjangkau listrik, ” tuturnya.

terlebih lagi, tamunya tidak cuma golongan orang biasa, tidak sedikit para pengusaha dan juga para pejabat.

salah sattunya merupakan heri noegroho, bupati blitar 2 periode, mulai 2005 – 1015.

walaupun tamunya banyak orang berduit, tetapi kehidupan mbah arjo senantiasa simpel.

buktinya, cuma semata – mata beli beras aja, tidak sanggup kerap sampai – sampai kerap tidak makan.

“bahkan, aku ketahui seorang diri, sempat diberi duit oleh seseorang pejabat, yang dibantunya, tetapi mbah arjo tidak ingin. malah sang pejabat itu diberi duit dollar, yang wujudnya masih baru, dan juga asli. oleh pejabat itu, dollar itu diterimanya, ” tutur widodo.

heri noegroho, mengaku mengenalnya dengan baik. itu karna dia kagum dengan kesederhaan mbah arjo.

“dulu (dikala masih jadi bupati) , aku benar kerap ke situ, dengan naik sepeda motor. tidak hanya terdapat kepentingan tertentu dengan mbah arjo, pula sekaligus mau mengenalkan destinasi wisata, ialah candi temuan mbah arjo (candi wringin branjang) itu, ” tuturnya, minggu (14/1).

bahwa soal umur mbah arjo, heri neogroho mengaku tidak ketahui tentu, tetapi dia percaya sudah 100 tahun lebih.

dari wujud mbah arjo, heri mengaku banyak pelajaran hidup yang dapat dipetik. tidak hanya simpel, dia dapat bertahan hidup di lereng pegunungan, dengan cuma makan seadanya.

“mungkin, dengan kondisinya serupa itu, dia jadi awet hidup karna tidak berhaluan macam – macam, ” ucapnya.

mbah arjo mengaku, sepanjang hidupnya, dia hadapi 6 kali gunung kelud itu meletus. tetapi, dia kurang ingat tahunnya.

dari 6 kali meletus itu, baginya, yang amat dashyat tahun 1990 ataupun dikala itu pribadinya sudah tinggal di lereng gunung tersebut.

tetapi demikian, dia tidak ingin dievakuasi dan juga senantiasa tinggal di gubuknya itu berbarengan anaknya.

“padahal dikala itu, ketebelan abunya di desa kami aja hingga 1 m. tetapi, kala mbah arjo ingin dievakuasi, tidak ingin. malah bilang, aku tidak harus dievakuasi karna aku sudah tahu seluruh dan juga sahabat aku di mari banyak. sementara itu, di gubuknya itu, dia cuma tinggal berdua dengan anaknya, tetapi katanya temannya banyak, ” papar widodo.

baru dikala terjalin letusan genung kelud tahun 2014 kemudian, papar widodo, terpaksa mbah arjo dan juga anaknya, dievakuasi paksa walaupun menolaknya.

benar, masyarakat tidak takut, kali lahar yang terdapat di depan gubuk rumahnya itu meluap hingga ke gubuknya, hanya yang ditakutkan, dia terserang imbas dari letusan itu.

“katanya, aku tidak harus dibawa berangkat, wong di mari aku sudah terdapat yang memayungi. tetapi, kami tidak tega, ya dikala itu kami ke balai desa, ” ucapnya.

walaupun mbah arjo mengaku tidak sempat berangkat ke mana – mana, tetapi bukan berarti tidak memiliki pengalaman hidup yang berharga.

cuma aja, itu tidak sering dikisahkan ke orang karna dikira tidak butuh. semisal, dahulu semasa jaman perjuangan, dia mengaku kerap berjumpa bung karno, dan juga supriadi, pahlawan pembela tanah air (peta).

dikala itu, dia masih tinggal di dusun sukomulyo, desa gadungan. oleh bung karno dan juga supriadi, dia disuruh menemaninya dikala melaksanakan ritual di lerang gunung gedang, yang saat ini berdiri bangunan gubuknya itu.

“saat itu, aku sudah tua, terlebih lagi pak karno dan juga pak supriadi, masih jejaka, sampai – sampai bahwa memanggil aku, mbah, ” papar mbah arjo.

katanya, pribadinya dapat tahu dengan bung karno dan juga supriadi, lewat kontak batin.

kesimpulannya, mereka berjumpa pada sesuatu malam, dan juga disuruh menemani ritual di lereng gunung kelud itu.

“kalau ritual, aku cuma duduk di sampingnya, hingga terdengar ayam berkokok. tetapi, antara pak karno dan juga pak supriadi, seingat aku tidak sempat melaksanakan ritual berbarengan di mari. dikala itu, aku kurang ingat lagi terjalin kejadian apa di indonesia, tetapi kayaknya belum kemerdekaan, ” paparnya, yang mengaku dikala masih kerap ketemu bung karno itu pribadinya sudah menikah 6 kali.

bagi mbah arjo, dikala bung karno kerap ritual di tempatnya itu dahulu, kondisinya masih hutan belantara, terlebih lagi masih banyak fauna buas. tempat duduk yang digunakan ritul bung karno itu, saat ini posisinya di dalam gubuknya itu.

dari pengalaman spritualnya itu, dia kesimpulannya meninggalkan kampungnya dan juga tinggal di suatu gubuk di tempat itu tahun 1990.

“selama tinggal di mari, aku benar kerap bermimpi, berjumpa pak karno. terlebih lagi, dalam mimpi aku itu, pak karno kerap berkunjung ke mari, ” ucapnya.

ditanya soal panduan hidupnya, dalam umur segitu kok masih sehat?

dia mengaku tidak memiliki panduan apa – apa. hanya, dia sempat makan ikan karna benar tidak terdapat ikan. tiap hari, dia cuma makan sayur – mayur, yang ditanam seorang diri, dan juga banyak minum air putih.

“pesan aku, jangan banyak benak. supaya tidak senantiasa kepikiran, jangan menyakiti orang, biar tidak jadi beban. serupa aku tinggal di mari ini, siapa yang aku sakiti wong tidak terdapat teman , tidak hanya anak aku, ” ucapnya.

sepanjang hidupnya, dia mengaku baru setahun ini measakan sakit pada kakinya. kedua kakinya seketika tidak dapat digerakkan.

sebelumnya ataupun setahun kemudian, dia masih dapat menyangkul ataupun menanam sayur – mayur, serupa bayam, mencari kayu bakar, mandi ke kali seorang diri, yang terdapat di balik rumahnya. tetapi, dikala ini seluruh kebutuhannya, dilayani anaknya.

“saya ini tidak sempat sakit, terlebih lagi pilek (flu) aku tidak sempat. soal santapan, ya seadanya, wong aku kerap puasa, karna benar keadaannya tidak terdapat yang dimakan lebih. kecuali, minum air putih, dan juga makan apa yang terdapat, ” pungkasnya.

( sumber: tribunnews. com )

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda